Aqidah Ruhaniyah


Pengertian Aqidah Ruhaniyah
            Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu  yaitu ar-rabth (ikatan), al ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat) asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat) at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Diantaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) al-jazmu (penetapan).
            “Al-‘aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: “ ‘ Aqadahu” “Ya’qiduhu” (pengikatnya), “’aqdan” (ikatan sumpah), dan “’uqdatun nikah” (ikatan menikah) allah taala berfirman, : Allah tidk menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja…’.(QS.al-maidah: 89 ).
            Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan  keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.
            Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
            Pengertian aqidah secara istilah (terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tentram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
            Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang meyakininya. Dan harus sesuai dengan keyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan akidah. Dinamakan akidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
            Akidah ruhaniyyah (metafisis) yaitu meyakini, menjiwai, memahami, segala sesuatu yang bersifat ghoib (tidak terdeteksi oleh panca indra).
            Masalah-masalah dan prakara-prakara yang wajib bagi seorang muslim untuk mengimaninya (mempercayainya) didalam kaitannya dengan akidah islam dimungkinkan untuk dibagi kedalam 4 macam :
         Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT, baik itu nama-namaNya dan juga sifat-sifatNya.
         Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rosul, Nabi-Nabi, keunggulannya, sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya.
         Ruhaniyyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata, seperti adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
         Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang tidak ada yang mengetahuinnya (kecuali Allah) yang disebut dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.
C. Urgensi Keimanan Kepada Alam Dan Makhluk Ghoib
            Alam ghoib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghoib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :
 وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ 
Artinya : “ Dan hanya disisi Allah-lah semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri , dan dia mengetahui apa yang ada didaratan dan dilautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia menngetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapa bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah dan yang kering, melainkan tertulis dalam kita yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am : 59)

Tentang hal ini, Nabi Nuh as berkata, sebagaimana dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : “ sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah  Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman : 34)
Hal ini sebagai mana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu’alaihiwa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat :
            “………..termasuk dari lima perkara (ghoib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut)”. (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
            Al-Iman Al-Qurtubi rahimahullahu berkata : “Berdasarkan hadist ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghoib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah QS. Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghoib (yang terdapat dalam QS. Luqman : 34) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari”.
            Diantara perkara ghoib, ada yang diberitakan Allah Subhanahuwa Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Allah berfirman :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)
(إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧                    
 Artinya : “(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghoib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghoib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul”. (QS. Al-Jin : 26-27)

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghoib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya”. (QS. Ali Imran :179)
            Maka dari itulah, perkara ghoib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
            Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barang siapa mengetahui bahwa dirinya mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasullullah Sallallahu’alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut”.
            Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghoib? Jawabannya adalah : Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghoib, sebagaimana yang Allah nyatakan :

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلا دَابَّةُ الأرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
Artinya : “Mata tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahukah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghoib tantulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan”. (QS. Saba’ :14)
            Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghoib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit-langit. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala:
(وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ (١٧) إِلا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ (١٨

Artinya : “Dan Kamu menjaganya (langit) dan tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang”. (QS.Al-Hijr:17-18)

D. Macam-macam Makhluk Ghoib
            Allah membedakan atas alam ghoib (seperti Allah, malaikat, jin, surga, dan neraka) dan alam tampak. Allah-lah yang paling mengetahui kedua alam tersebut.
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Artinya : “Dialah Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, yang mengetahui yang ghoib dan yang tampak”. (QS. Al-Hasyr : 22)
 قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Aku mengetahui segala yang ghoib di langit dan di bumi dan Aku mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan”. (QS. Al-Baqarah : 33)
            Kita harus beriman kepada yang ghoib. “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghoib….” (QS. Al-Baqarah : 2-3). Tetapi kita hanya bisa mengetahui yang ghoib secara benar dengan cara ikhbari, yakni sejauh apa yang dikemukakan oleh Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan as-Sunnah).
            Alam ghoib yang diciptakan oleh Allah merupakan ujian bagi manusia selama ia hidup di dunia. Manusia diuji apakah ketika di dunia dia beriman kepada Allah, Hari Akhir, surga, neraka, pahala akhirat dan sebagainya – yang mana semuanya itu tidak tampak – ataukah dia mengingkarinya.
1. Malaikat
            Malaikat merupakan tentara-tentara Allah yang ditugaskan untuk urusan-urusan tertentu. Diantara malaikat-malaikat Allah kita mengenal antara lain malaikat yang sepuluh, delapan malaikat yang mengusung Arsy Allah.
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

Artinya : “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”. (QS. Al-Haaqqah : 17)
            Dan malaikat-malaikat yang ditugaskan untuk menolong orang-orang mukmin yang sedang berjihad.
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
Artinya : “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (QS. Al-Anfal : 9)
Sifat-sifat Malaikat :
a. Memiliki 2 atau 3 sayap (QS Faathir : 1), kecuali jibril yang merupakan malaikat yang paling besar – memiliki 600 atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari)
b. Suka berkumpul di majelis dzikir atau ilmu sembari memohonkan ampun bagi yang ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai tanda ridha.
c. Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah bermaksiat (membangkang) atas perintah Allah kepada mereka dan senantiasa mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah kepada mereka.
d. Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum.
e. Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar yang diharamkan.
f. Menyukai tempat-tempat yang bersih
            Malaikat adalah makhluk ghoib yang diciptakan Allah dari cahaya, senantiasa menyembah Allah, tidak pernah mendurhakai perintah Allah serta senantiasa melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Keimanan kepada malaikat mengandung 4 unsur, yaitu:
Pertama : Mengimani adanya malaikat.
            Yaitu kepercayaan yang pasti tentang keberadaan para malaikat. Tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa malaikat hanyalah sebuah ‘kata’ yang bermakna konotasi yang berarti kebaikan atau semacamnya. Allah Ta’ala telah menyatakan keberadaan mereka dalam firman-Nya yang artinya : “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendaului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (QS. Al-Anbiyaa’ : 26-27)
Kedua :  Mengimani nama-nama malaikat telah yang kita ketahui, sedangkan malaikat yang tidak diketahui namanya wajib kita imani secara global.
            Di antara dalil yang menunjukkan banyaknya bilangan malaikat dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah Ta’ala adalah sebuah hadits shahih yang berkaitan dengan baitul makmur. Di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya baitul makmur berada dilangit yang ketujuh setentang dengan Ka’bah di bumi, setiap hari ada 70 ribu malaikat yang shalat di dalamnya kemudian apabila mereka telah keluar maka tidak akan kembali lagi”. (HR. Bukhari & Muslim)   
Ketiga : mengimami sifat-sifat malaikat yang kita ketahui.
            Seperti misalnya sifat jibril, dimana Nabi mengabarkan bahwa beliau Shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat jibril dalam sifat yang asli, yang ternyata mempunyai enam ratus sayap yang dapat menutupi cakrawala (HR. Bukhari). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk, dari sayapnya berjatuhan berbagai warna, mutiara dan permata yang hanya Allah sajalah yang mengetahui keindahannya”.
            Dalam hadits di atas disebutkan bahwa malaikat sayap dengan berbagai warna. Hal ini menunjukkan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla dan memberitahukan bentuk Jibril ‘alaihissalam yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk. Kita tidak perlu mempersoalkan bagaimana Rasullullah shallalluhu ‘alaihi wa sallam dapat melihat enam ratus sayap dan bagaimana pula cara beliau menghitungnya? Padahal satu sayap saja dapat menutupi ufuk? Kita jawab: “Selagi hadits tersebut shahih dan para ulama menshahihkan sanadnya maka kita tidak membahas mengenai kaifiyat (bagaimananya), karena Allah Maha Kuasa untuk memperlihatkan kepada Nabi-Nya Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam hal-hal yang tidak dapat dibayangkan dan dicerna oleh akal fikiran”.
            Allah ta’alamenceritakan bahwa sayap yang dimiliki malaikat memiliki jumlah bilangan yang berbeda-beda.
Description: C:\Users\Ratih\Documents\2015-11-27-19-35-41--85397455.png


Artinya : “Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Faathir:1)
            Sifat malaikat yang lain adalah terkadang malaikat itu dengan kekuasaan Allah bisa berubah bentuk menjadi manusia, sebagaimana yang terjadi pada Jibril saat Allah mengutusnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan pada manusia apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Demikian juga dengan para malaikat yang diutus oleh Allah kepada Ibrahim dan Luth ‘Alaihiwasallam, mereka semua datang dalam bentuk manusia. Para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan tidak pernah mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keempat: mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan malaikat.
            Kita mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan mereka yang mereka tunaikan berdasarkan perintah Allah Ta’ala, seperti bertasbih (mensucikan Allah) dan beribadah kepada-Nya tanpa kenal lelah dan tanpa pernah berhenti. Di antara para malaikat, ada yang memiliki tugas khusus, misalnya:
1.      Jibril ‘alaihissalam yang ditugasi menyampaikan wahyu dari Allah kepada para Rasul-Nya ‘alaihimussalam.
2.      Mikail yang ditugasi menurunkan hujan dan menyebarkannya.
3.      Israfil yang ditugasi meniup sangkakala.
4.      Malaikat Maut yang ditugasi mencabut nyawa. Dalam beberapa atsarada disebutkan bahwa malaikat maut bernama Izrail, namun atsar tersebut tidak shahih. Nama yang benar adalah Malaikat Maut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu”. (QS. As-sajdah:11)
5.      Yang ditugasi menjaga amal perbuatan hamba dan mencatatnya, perbuatan yang baik maupun yang buruk, mereka adalah para malaikat pencatat yang mulia. Adapun penanaman malaikat Raqib dan ‘Atid juga tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka kita menanamkan malaikat sesuai dengan apa yang telah Allah namakan bagi mereka.
6.      Yang ditugasi menjaga hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu tidur atau ketika jaga dan pada semua keadaannya, mereka adalah Al-Mu’aqqibat.
7.      Para malaikat penjaga surga. Ridwan merupakan pemimpin para malaikat di surga (apabila hadits tentang hal itu memang sah).
8.      Sembilan belas malaikat yang merupakan pemimpin para malaikat penjaga neraka dan permukaannya adalah malaikat Malik.
9.      Para malaikat yang diserahi untuk mengatur janin di dalam rahim. Jika seorang hamba telah sempurna empat bulan di dalam perut ibunya, maka Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat kepadanya dan memerintahkannya untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya dan sesangsara atau bahagianya.
10.  Para malaikat yang diserahi untuk menanyai mayit ketika telah diletakkan di dalam kuburnya. Ketika itu, dua malaikat mendatanginya untuk menanyakan kepadanya tentang Rabb-Nya, agamanya dan nabinya.
Kesalahan-kesalahan

            Terdapat kesalahan-kesalahan yang merusak keimanan kepada malaikat. Bahkan bisa jadi kesalahan itu membawa kepada kekufuran –na’udzu billahi min dzalik-. Oleh karena itulah, kita berlindung kepada Allah agar tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang ada adalah:
1.      Mengatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Sungguh  inilah yang juga dikatakan kaum musyirikin. Maha Suci Allah dari anggapan ini. Hal ini terdapat dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri apa yang mereka sukai”. (QS. An-Nahl : 57)
2.      Beribadah kepada para malaikat. Padahal jika mereka mau merenungi ayat-ayat Al-Qur’an, akan jelas ditemukan bahwa para malaikat itu sendiri hanya menyembah kepada Allah semata. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan oleh Allah, mereka tetaplah makhluk Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud”.
3.      Menanamkan para malaikat dengan nama-nama yang tidak ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an dan tidak disampaikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti misalnya menanamkan malaikat maut dengan nama Izroil, malaikat pencatat amal dengan nama Roqib dan Atid.
4.      Mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah pembantu Allah. Maha Suci Allah dari perkataan seperti ini. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah yang menciptakan para malaikat tersebut. Dan segala makhluk yang diciptakan Allah adalah membutuhkan Allah. Malaikat-malaikat tersebut pun melaksanakan tugas-tugasnya karena diperintah oleh Allah dan diberi kemampuan untuk melaksanakannya. Kesalahan anggapan ini adalah termasuk dari kesalahan pemahaman karena menyamakan Allah dengan makhluk, dalam hal ini adalah menyamakan Allah dengan kondisi para raja yang membutuhkan pembantu-pembantu untuk melaksanakan pekerjaannya. Dan ini termasuk dalam hakikat kesyirikan, -na’udzubillah mindzalik-.

Buah keimanan kepada malaikat

            Beriman kepada para malaikat memiliki pengaruh yang agung dalam kehidupan setiap mukmin, di antaranya dapat kita sebutkan:
1.      Mengetahui keagungan, kekuatan serta kesempurnaan kekuasaan-Nya. Sebab keagungan (sesuatu) yang diciptakan (makhluk) menunjukan keagungan yang menciptakan (al-Khaliq). Dengan demikian akan menambah pengagungan dan pemuliaan seorang mukmin kepada Allah, dimana Allah menciptakan para malaikat dari cahaya dan diberi-Nya sayap-sayap.
2.      Senantiasa istiqomah (meneguhkan pendirian) dalam menaati Allah Ta’ala. Karena barangsiapa beriman bahwa para malaikat itu mencatat semua amal perbuatannya, maka ini menjadikannya semakin takut kepada Allah, sehingga ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
3.      Bersabar dalam menaati Allah serta merasakan ketenangan dan kedamaian. Karena sebagai seorang mukmin ia yakin bahwa bersamanya dalam alam yang luas ini ada ribuan malaikat yang menaati Allah dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya.
4.      Bersyukur kepada Allah atas perlindungan-Nya kepada anak Adam, dimana ia menjadikan sebagian dari para malaikat sebagai penjaga mereka.
5.      Waspada bahwa dunia ini adalah fana dan tidak kekal, yakni ketika ia ingat Malaikat Maut yang suatu ketika akan diperintahkan untuk mencabut nyawanya. Karena itu, ia akan semakin rajin mempersiapkan diri menghadapi hari Akhir dengan beriman dan beramal shalih.

2.            Jin
   Jin dan manusia yang dua makhluk Allah yang dibebani dengan syariat agama, sehingga dikenal pahala dan siksa. Semua jin bisa meninggal dunia kecuali Iblis dan keturunannya yang ditangguhkan kematiannya sampai Hari Kiamat. Iblis dahulunya juga jin tetapi setelah menolak sujud kepada Adam atas perintah Allah, ia beserta keturunannya dilaknat oleh Allah. Jadi Iblis dan keturunnannya kafir seluruhnya, berbeda dengan jin yang terdiri atas mukmin dan kafir. Jin yang kafir ini sering juga disebut sebagai syaithan karena memiliki sifat yang serupa. Di samping itu, istilah syaithan juga dipakai untuk manusia yang memiliki sifat-sifat syaithan. Adapun jin yang muslim, sebagaimana manusia, ada yang benar-benar taat dan ada pula yang suka berbuat maksiat.
               Jin juga menikah, makan, dan minum. Keduanya tinggal di alam yang tidak terlihat oleh manusia, tetapi mereka bisa melihat manusia. Tetapi jika mereka menampakkan diri di alam tampak dalam wujud alam tampak maka manusia bisa melihat mereka.
               Syaithan dan jin yang ingkar menyukai tempat-tempat yang kotor dan juga rumah-rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya dan rumah-rumah yang penghuninya tidak pernah berdzikir kepada Allah.
               Fakta mengungkapkan adanya  dua khutub extreme dalam mensikapi masalh jin. Sebagian orang tidak mengambil perhatian bahkan tidak mau tahu. Di sisi lain, terdapat pula sebagian orang yang tersesat dalam kemusyrikan karena salah dalam memahami masalah ini,naudzubillahi min dzalik.Padahal kita yakin bahwa Islam adalah agama yang moderat dan comprehensive. Bagaimana sebenarnya Islam mengatur tentang alam ghoib dan jin?
   Ada tiga point penting dalam pembahasan dalam materi ini.
               Pertama, sebagai seorang musllim, kitra harus beriman kepada yang ghoib seperti meyakini adanya jin dan syaithan, percaya akan kabar-kabar yang akan dan telah terjadi di dalm Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalm QS. Al-Baqarah ayat 3 tentang kewajiban untuk beriman kepada yang ghoib. Dalam ayat tersebut jukga menggandngkan antara sholat dengan kepercayaan terhadap makhluk ghoib.
               kedua, seorang muslim harus beriman kepada takdir, baik maupun buruk. Misalnya, apabila ada gangguan jin yang menimpa seorang muslim, maka harus dipercayai sebagai takdir.
               Ketiga,seorang muslim harus selalu berusaha  untuk bersabar dalam menjalani takdir.
               Takut kepada jin? Jangan pernah merasa takut kepada setan dan jin. Dalam QS. Al-A’rof ayat 27 dikatakan bahwa setan tidak ada yang benar, dia selalu berkhianat dan membawa kesesatan. Hanya orang yang tidak berimanlah yang menjadikan setan dan jin sebagai pemimpin. Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang paling mulia dia antara  makhluk yang lain sebagaimana dalam QS. Al-Isro ayat 70. Abu Bakar Al Jaziri berkata bahwa sesungguhnya jika terdapat jin yang paling sholih dalam golongan jin, maka manusia lebih mulia daripada dia. Sehingga kita tidak boleh takut kepada jin, menghormati jin bahkan meminta perlindungan kepada jin (QS. Al-Jin ayat 6), naudzubillahi min dzalik. Kita sering menyaksikan di masayarakat, misalnya ketika melewati jembatan yang konon “ada yang menunggu” , maka pengemudi akan membunyikan klakson terlebih dahulu agar tidak diganggu. Nah, praktik seperti ini adalah tidak ada syariatnya. Hal ini merupakan bagian dari penghormatan terhadap jin. Padahal, semakin jin dihormati maka dia akan menjadi semakin besar kepala.

Apa yang dimaksud dengan Jin?
               Kata jin berasal dari jana-yajinuyang berarti sesuatu yang terhalang. Disebut janah yaitu surga yang ditutupi oleh pohon yang rindang. Tameng atau alat pelindung orang yang berperang disebut jina. Orang gila disebut majnunyang artinya akal pikiran telah tertutup. Asal usul jin sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr ayat 26-27 bahwa jin diciptakan dari api yang sangat panas. Seorang muslim tidak akan pernah dapat melihat jin dalam rupa aslinya kecuali jin  tersebut menjelma dalam bentuk manusia maupun binatang.
               Jin hidup pula seperti manusia, yaitu berkabilah maupun bersuku-suku. Jin terdiri dari tiga jenis:
Pertama,jin dari bangsa yang terbang di luar angkasa. Ini merupakan jin yang tertinggi pangkatnya yang sering mencuri berita dari langit. Mereka biasanya bersekutu dengan tukang sihir.
Kedua,jin dari kelompok ular dan anjing. Mereka biasanya berwarna hitam.Jin dalam wujud ular dahulu ada pada zaman Rasulullah SAW.Apabila melihat ular maupun anjing kita tidak boleh membunuhnya secara langsung.Kita diperintahkan untuk mengusirnya terlebih dahulu dengan menyebut asma Allah sebanyak tiga kali, baru kemudian membunuhnya apabila binatang tersebut tidak mau pergi.
Ketiga,jin dari kelompok berkaki dua dan berkaki empat. Misalnya jin yang berwujud manusia. Sahabat nabi, Abu Hurairan pernah suatu ketika didatangi oleh jin yang berwujud orang tua. Jin tersebut mencuri di baitul mal, pergi selama berkali-kali kemudian ditangkap.Jin tersebut juga mengajari ayat kursi kepada Abu Hurairan. Para ulama menyepakati tentang diperbolehkannya menerima ajaran jin tersebut, karena mengandung kebaikan.
Dalam QS.Az-Zariyat ayat 56 dan QS.Al-Ahqaf ayat 29 dikatakan bahwa diciptakannya jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Apakah antara jin dan manusia dapat melakukan perkawinan ?Ibnu Taimiyah berkata bahwa keduanya dapat berkawin dan memiliki keturunan. Para ulama juga bersepakat bahwa keduanya dapat terjadi perkawinan antara jin dan manusia.

Dimanakah tempat tinggal jin?
Pertama, tanah lapang, lembah-lembah dan lereng-lereng.Kita tidak boleh membiarkan tanah kosong yang tidak ditempati sebagai tempat bermain anak-anak.
Kedua,tempat sampah dan tempat yang terdapat makanan.
Ketiga,tandas dan tempat berwudhu.
Keempat,tanah-tanah yang retak, lubang-lubang maupun gua.
Kelima, tinggal bersama manusia di rumah.
Keenam, kandang onta sebagaimana sebuah hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang sholat di kandang onta.
Ketujuh, tempat yang ditinggal oleh tuannya.
Delapan, kuburan sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa semua tempat di bumi ini adalah suci kecuali kuburan dan kamar mandi.
Sembilan, di pasar-pasar.Terdapat sebuah hadits yang melarang kita untuk menjadi orang pertama dalam pasar dan melarang menjadi orang terakhir yang berada di pasar.

E. Implementasi Keimanan Kepada Makhluk Ghoib
            Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
            Adapun keilmuan semata tanpa memperdulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya.Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa memperdulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya.Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama wasathan(adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap berlebihan.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:”Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang melulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad’il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…”.
            Alam ghoib ibarat alam yang gelap gurita, sedangkan al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghoibtersebut menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada firman Allah (al-Qur’an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam(al-Hadits).
            Bila demikian, berarti semua perkara ghoibharuslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Jika perkara ghoib(baca: yang dianggap ghoib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghoib tersebut diterangkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
            Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghoib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahuwa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghoib di masa lampau dan di masa yang akan datang, bebagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS_q1mOTJoDABwvoJ1QuPAJ9XzOOtrlqKsESy3ucQtDkzcTi2vBqx8-NWmb2zRtV4rGcK1JinjZ8TCjptlv83KHZmlk3RYEUUtgzWm3ZdKzLOyTm0DwPCBjSJgNSvWMhYeTKj4DdikSBc/s1600/surah+al+baqarah1.png            Beriman dengan (adanya) perkara ghoib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’aladan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkata ghoibtersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
Artinya: “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.(Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghoib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah : 1-3)
            Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakikat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud disini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indera, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghoibyang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa sallam. Maka seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya.Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat dijangkaunya. Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran) dan para pendusta perkara ghoib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang pendek. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
            Al-Iman Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahuberkata: “(Setiap muslim,-pen) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu’alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghoib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakikat maknanya”.
            Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghoib,baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak”.
            Demikianlah manhaj(prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghoib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Description: 7_172.png



Artinya: “Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(QS. Al-A’raf : 157)
            Dari bahasa di atas dapatlah diambil pelajaran bagi kaum muslimin bahwa:
1.      Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghoibdan semua peristiwanya yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indera maupun yang tidak.
2.      Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesehatan.
3.      Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghoib dan peristiwanya, dengan pemahaman Rasulullah, para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena dia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyahyang menyesatkan.





0 Response to "Aqidah Ruhaniyah"

Posting Komentar

Dilarang komentar spam